PBB mendesak tindakan cepat untuk melindungi wanita-wanita di Negara Melanesia dari kekerasan terkait sihir.
PBB mengatakan praktek kebudayaan sihir yang menjurus pada
penyiksaan dan pembunuhan tidak dapat ditolerir dan wanita-wanita di
Melanesia membutuhkan perlindungan dan dukungan mendesak dari praktek
semacam itu.
Nancy Robinson, Perwakilan Komisioner Tinggi PBB untuk kawasan Melanesia kepada Radio Australia Pacific Beat mengatakan pemimpin politik di Port Moresby harus segera bertindak.
“Otoritas Papua Nugini telah menandatangani banyak konvensi PBB oleh karena itu mereka berkewajiban memastikan perlindungan bagi wanita dari kejahatan terkait sihir ini,” katanya.
“Kami melihat mereka telah gagal, karenanya kita perlu mendesak pemerintah melakukan rencana aksi yang efektif untuk melindungi wanita-wanita tersebut,”
Hal ini dikatakan Nancy Robinson di hari terakhir konferensi yang menyoroti soal praktek pembunuhan terkait sihir di Melanesia yang digelar Universitas Nasional Australia di Canberra.
Ia menyambut baik penghapusan UU Sihir di PNG yang disebutnya sebagai langkah positif, karena penghapusan itu memungkinkan pembunuhan terkait sihir bisa diproses hukum.
Meski demikian Robinson mendesak pemerintah Papua Nugini untuk mengarusutamakan masalah kekerasan terkait sihir dan kekerasan berbasis gender ini dengan aturan kebijakan dan penegakan hukum.
Menurutnya Papua Nugini juga perlu menanggulangi kondisi struktural di negaranya yang masih mengasingkan perempuan dari partisipasi politik dan terus termarginalkan di masyarakat.
Implementasi hukum dan perlawanan terhadap impunitas juga masih menjadi masalah besar yang dihadapi PNG untuk mengatasi kekerasan terkait sihir.
“Ini bukan persoalan praktek budaya saja, tapi juga menyangkut hak untuk hidup dan jurisprudensi kejahatan, itu praktek pembunuhan,” katanya
“kita bisa saja memiliki hukum tapi kalau polisi tidak mampu menegakkan itu, maka kita akan tetap memiliki isu terkait impunitas.
Robinson menyebut fenomena ini sebagai pembunuhan.
“Kita menilai ini sebagai fenomena masalah yang sangat memukul kerangka kerja HAM internasional dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan menlindungi hak hidup perempuan,”katanya.
“Hak untuk tidak disakiti dan juga hak untuk hidup tanpa kekerasan adalah masalah yang kita sadar ada di banyak negara, tapi Saya merasa kondisi ini sangat tidak bisa diterima, dimana masih ada praktek budaya yang melanggar hak perempuan untuk hidup."
“Orang-orang tidak membicarakan hal itu, bagi komunitas di Papua Nugini hal itu aib.
Ini adalah kepercayaan yang begitu mendarah daging kalau orang-orang percaya bahwa sihir itu ada dan orang-orang yang disiksa sebagai penyihir mereka tidak membicarakannya. Semua orang tetap diam. "
Di masyarakat yang didominasi laki-laki, perempuan biasanya menjadi korban dari kekerasan yang disebutnya sangat tidak manusiawi.
Lilly mengatakan dalam konferensi di Canberra bahwa kepercayaan tradisional tersebut ditumbangkan sebagai alasan untuk kekerasan ekstrem.
Nancy Robinson, Perwakilan Komisioner Tinggi PBB untuk kawasan Melanesia kepada Radio Australia Pacific Beat mengatakan pemimpin politik di Port Moresby harus segera bertindak.
“Otoritas Papua Nugini telah menandatangani banyak konvensi PBB oleh karena itu mereka berkewajiban memastikan perlindungan bagi wanita dari kejahatan terkait sihir ini,” katanya.
“Kami melihat mereka telah gagal, karenanya kita perlu mendesak pemerintah melakukan rencana aksi yang efektif untuk melindungi wanita-wanita tersebut,”
Hal ini dikatakan Nancy Robinson di hari terakhir konferensi yang menyoroti soal praktek pembunuhan terkait sihir di Melanesia yang digelar Universitas Nasional Australia di Canberra.
Ia menyambut baik penghapusan UU Sihir di PNG yang disebutnya sebagai langkah positif, karena penghapusan itu memungkinkan pembunuhan terkait sihir bisa diproses hukum.
Meski demikian Robinson mendesak pemerintah Papua Nugini untuk mengarusutamakan masalah kekerasan terkait sihir dan kekerasan berbasis gender ini dengan aturan kebijakan dan penegakan hukum.
Menurutnya Papua Nugini juga perlu menanggulangi kondisi struktural di negaranya yang masih mengasingkan perempuan dari partisipasi politik dan terus termarginalkan di masyarakat.
Implementasi hukum dan perlawanan terhadap impunitas juga masih menjadi masalah besar yang dihadapi PNG untuk mengatasi kekerasan terkait sihir.
“Ini bukan persoalan praktek budaya saja, tapi juga menyangkut hak untuk hidup dan jurisprudensi kejahatan, itu praktek pembunuhan,” katanya
“kita bisa saja memiliki hukum tapi kalau polisi tidak mampu menegakkan itu, maka kita akan tetap memiliki isu terkait impunitas.
Robinson menyebut fenomena ini sebagai pembunuhan.
“Kita menilai ini sebagai fenomena masalah yang sangat memukul kerangka kerja HAM internasional dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan menlindungi hak hidup perempuan,”katanya.
“Hak untuk tidak disakiti dan juga hak untuk hidup tanpa kekerasan adalah masalah yang kita sadar ada di banyak negara, tapi Saya merasa kondisi ini sangat tidak bisa diterima, dimana masih ada praktek budaya yang melanggar hak perempuan untuk hidup."
Semua tutup mulut
Lilly, aktifis pembela HAM dari dataran tinggi Papua Nugini mengatakan ada masalah kurangnya dukungan bagi korban trauma dan juga budaya tutup mulut.“Orang-orang tidak membicarakan hal itu, bagi komunitas di Papua Nugini hal itu aib.
Ini adalah kepercayaan yang begitu mendarah daging kalau orang-orang percaya bahwa sihir itu ada dan orang-orang yang disiksa sebagai penyihir mereka tidak membicarakannya. Semua orang tetap diam. "
Di masyarakat yang didominasi laki-laki, perempuan biasanya menjadi korban dari kekerasan yang disebutnya sangat tidak manusiawi.
Lilly mengatakan dalam konferensi di Canberra bahwa kepercayaan tradisional tersebut ditumbangkan sebagai alasan untuk kekerasan ekstrem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar