Pemerataan
sumber daya manusia di Papua masih sangat jauh dari harapan, hal itu
terbukti dengan tidak adanya persamaan gender demi mencapai kemajuan
bersama. Di Papua, perempuan cenderung tidak terlihat untuk menduduki
posisi yang strategis di pemerintahan, perempuan di Papua masih dinomor
duakan. Hal itu karena terdapat beberapa faktor yang membuat perempuan
Papua kurang mendapat kesempatan, diantaranya faktor pendidikan,
kesehatan dan lainnya.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Manokwari, Papua Yuliana numberi, S.S kepada Cahayareformasi.com mengatakan, kalau bicara jujur tentang sumber daya manusia perempuan di Papua persentasinya sangat kecil.
“Sumber
daya manusia perempuan Papua sangat kecil disebabkan oleh faktor ruang
jabatan struktural tidak terpenuhi. Mereka lebih memperhatikan pemberian
anggaran biayai laki-laki untuk beasiswa pendidikan strata 2, strata 3
dan sebagainya,” ujar Yuli di Jakarta, (14/06/13).
Dari segi kesehatan kata Yuli, kenapa kesehatan perempuan Papua lebih rendah karena anggaran kesehatan masyarakat tidak ada kuota yang jelas. Berapa persen anggaran untuk mendorong kesehatan demi memperkecil angka kematian ibu dan anak.
“Kemudian
kita bicara dari segi sosial ekonomi perempuan Papua sebenarnya mampu
terlibat dalam ekonomi keluarga. Namun mereka lemah dalam segi modal,
karena tidak mendapat perhatian pemerintah dari segi anggaran
pemberdayaan perempuan, “katanya.
Dengan
masalah tersebut diatas sehingga membuat perempuan Papua mempunyai rasa
iri antara satu dengan perempuan yang lain. Sebagaimana ketika ada satu
perempuan maju di suatu jabatan bukannya mendapat dukungan justru malah
dimusuhi oleh perempuan yang lain dan menjadi suatu pembicaraan dari
sisi yang negatif.
“Hal
ini dikarenakan kita belum mempunyai database berapa SDM perempuan
Papua di eksekutiff, legislatif karena masih terkotak-kotak jadi tidak
tepat sasaran, ujar nya di Jakarta, jumat, 14 Juni 2013, “ungkap Yuli.
Maka
dari itu, sambung Yuli, strategi yang akan kita buat untuk meningkatkan
SDM perempuan Papua, yang pertama adalah laki-laki Papua harus mengakui
hak perempuan karena ada Undang-undang kesetaraan gender. Kedua,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mempunyai database siapa
perempuan Papua yang harus didorong dan diberikan ruang pembatasan.
Karena kalau bicara jujur, perempuan Papua yang mendapat kesempatan
pendidikan ke jenjang strata 2 hanya di dunia akademisi. Tetapi di dunia pegawai negeri sipil mereka punya keterbatasan.
Dan
yang ketiga, pemerintah harus memberikan kesempatan peluang pendidikan
yang lebih baik lagi. Pelatihan dimana saja untuk meningkatkan jiwa
kepemimpinan perempuaan papua. Itu yang membuat posisi jabatan stuktural
di pemerintahan menjadi lemah.
Kedepan
membutuhkan waktu yang panjang paling tidak perlu waktu 10-20 tahun
lagi supaya mendapatkan perempuan papua yang berkualitas. ‘’Kalau ada
komitmen sungguh-sungguh, maka dalam waktu 5 tahun kita akan mendapatkan SDM perempuan Papua yang berkualitas bisa diandalkan,’’ harap Yuli.
Ditanyakan
mengenai masalah kuota KPU terhadap partai politik, Yuliana menyatakan,
kalau kita lihat pemerintah mendorong kesetaraan gender dalam program
yang didorong badan pemberdayaan perempuan. Mendorong kesetaraan gender
dalam kuota 30%, namun partai politik tidak mempunyai jiwa besar untuk
mendorong perempuan supaya mendapat posisi yang sama dengan laki-laki.
Dalam UU Pemilu nomor 8 tahun 2012 pasal 55 berbicara nomor urut 1
sampai 3 bisa diberikan kepada laki-laki dan perempuan,ujarnya.
Tetapi
partai politik tidak legowo memberikan kuota 30% bagi perempuan .
kemudian kita lihat kuota 30% itu sangat kecil sekali bahkan kalau bisa
sampai 50%, sehingga peluang
perempuan lebih besar lagi. ‘’Partai politik tidak memahami
Undang-undang Pemilu dengan baik. KPU harus menindak ketua partai
politik, ‘’ungkap Srikandi Papua tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar