HANYA
UNTUK SARANA PENUNJANG PENYELENGGARAN PELAYANAN PEMERINTAHAN, BUKAN FASILITAS
DAN HAK PRIBADI UNTUK PARA PEJABAT DAERAH
By: Ones Yobee,
SE
Masih sering kita temui, penggunaan kendaraan dinas operasional pelat merah
berkeliaran di hari libur, di tempat-tempat plesiran, atau digunakan oleh bukan
pejabat yang mendapatkan fasilitas kendaraan dinas operasional tersebut.
Terkadang, maaf, beberapa terlihat sedang di parkir di halaman losmen, tempat
karaoke dan beberapa tempat lain yang kurang “bermartabat”. Meskipun
prosentasenya relatif kecil dan terlepas dari apakah fasilitas negara tersebut
sedang dimanfaatkan untuk urusan kedinasan atau bukan, tentu ini bisa menjadi
preseden buruk yang dapat menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
integritas moral para penyelenggara negara. Seringkali kita salah mengartikan,
cenderung permisif dan longgar dalam pengawasan karena kita menganggap para
pejabat negara memang sudah sepantasnya mendapat berbagai fasilitas lebih
termasuk keluarganya, bahkan mempunyai beberapa ‘privileges’ tertentu yang
terkadang tidak terbatas, termasuk untuk kehidupan pribadinya. Karena nilai di
masyarakat menganggap yang lazim adalah benar, maka pengawasan dan fungsi
kontrol yang diharapkan dari partisipasi masyarakat menjadi rendah, bahkan
nyaris tidak ada. Hal ini dikhawatirkan dapat membahayakan proses demokratisasi
yang sedang kita bangun karena ketidak seimbangan kekuatan pilar demokrasi
(antara lain jika pengawasan dan kontrol masyarakat sipil lemah) akan
mengakibatkan penguatan pilar lain, dalam hal ini unsur pemerintah selaku
penyelenggara negara yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).
Dan sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang terlalu kuat atau absolut
cenderung semakin korup dan banyak melakukan perselingkuhan dengan pilar
lainnya, yaitu pelaku usaha (corporates) dan kepentingan luar. Kembali kepada
penggunaan kendaraan dinas operasional untuk keperluan di luar kepentingan dinas
atau di luar jam kerja. Dapat kita pilah kendaraan-kendaraan pelat merah yang
berkeliaran di luar jam kerja menjadi dua. Pertama adalah kendaraan dinas yang
memang digunakan untuk keperluan dinas di luar jam kerja, yang kedua adalah
kendaraan dinas yang digunakan bukan untuk keperluan dinas atau dengan kata
lain untuk keperluan pribadi. Yang perlu mendapat perhatian lebih adalah
kategori kedua. Tentu masyarakat sipil, pers atau organisasi-organisasi di luar
pemerintahan (NGO) akan kesulitan untuk mengawasi penggunaan kendaraan dinas
yang digunakan bukan untuk keperluan dinas secara akurat. Hanya
kendaraan-kendaraan berplat merah yang secara sembrono diparkir secara terbuka
di losmen, di halaman hotel atau di tempat karaoke dan tempat-tempat “kurang
bermartabat” sejenis yang dapat terpantau, dan terekspose untuk patut diduga
digunakan bukan untuk keperluan dinas. Itupun umumnya penggunanya cenderung
mudah berkelit dan lepas dari kecurigaan karena masyarakat kita yang sudah
terlanjur permisif dan abai. Apalagi misalnya jika ditemui kendaraan dinas yang
digunakan untuk mengantar atau menjemput anak ke sekolah, berbelanja ke pasar
atau mal, untuk transportasi keluarga ke tempat hiburan umum, dan sebagainya
yang tidak dinilai sebagai tempat negatif oleh masyarakat. Dalam PP 6/2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara dapat
disewa-pakai melalui surat perjanjian dengan biaya yang timbul dari penggunaan
dibebankan kepada pihak yang mendapatkan manfaat dari sewa-pakai tersebut.
Artinya penggunaan kendaraan dinas bukan untuk keperluan dinas dalam asumsi
disewa-pakai, yang masih menggunakan anggaran negara dalam pemeliharaan,
perbaikan dan biaya lain yang muncul (pajak, dll) merupakan pemborosan anggaran
negara, yang notabene dibiayai dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Namun
bukannya kendaraan dinas itu dibeli, dibiayai bahan bakarnya, dibayari
pemeliharaan dan perbaikannya jika rusak, bahkan dibayarkan pajaknya dengan
uang yang diambilkan dari anggaran negara, yang notabene dibiayai dari pajak
yang dibayar oleh rakyat. Bukankah pembelian mobil dinas itu dimaksudkan
sebagai fasilitas, alat bantu, untuk kelancaran pelaksanaan tugas para
penyelenggara negara agar meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan
kepemerintahan kepada masyarakat. Ataukah sekarang maksud dan tujuan keberadaan
kendaraan dinas itu sudah bergeser menjadi hak dan fasilitas pribadi
penyelenggara negara yang harus dipenuhi? Akan lebih baik jika kita mampu
segera mengembalikan konsepsi kendaraan dinas sebagai fasilitas atau alat bantu
para penyelenggara negara untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan
kepemerintahan kepada masyarakat. Penyalahgunaan atau ketidak tepatan
pemanfaatan kendaraan dinas operasional milik negara yang dibiayai oleh rakyat,
akan menciderai perasaan rakyat (common sense). Selain tidak etis, sebenarnya
penggunaan kendaraan dinas yang tidak tepat manfaat akan mengakibatkan
“alienasi” penyelenggara negara dengan masyarakat yang diamongnya. Para Pejabat
Daerah yang menggunakan kendaraan dinas di luar keperluan dinas menunjukkan
watak kepurbaan manusia yaitu pamer, serakah dan pelit. Ada kebanggaan
tersendiri bagi para beberapa para peejabat daerah yang menggunakan kendaraan
dinas bukan untuk keperluan dinas padahal sebenarnya mampu membeli kendaraan
pribadi yang jauh lebih mewah. Seringkali kendaraan pribadinya hanya disimpan
di dalam garasi, jarang dikeluarkan, paling sesekali saja dipanasi mesinnya.
Untuk keperluan pribadi dan keluarga, lebih memilih untuk menggunakan kendaraan
dinas. Ironisnya kendaraan dinas operasional milik negara yang seharusnya
disimpan dan diamankan di garasi instansi atau kantor selepas jam kerja, dibawa
pulang ke rumah. Namun bagi yang garasinya tidak muat, hanya diparkir di luar
garasi yang seringkali pengamanannya hanya seadanya. Sedangkan BBM, biaya
perawatan, perbaikan, pajak masih dibayarkan dengan anggaran daerah. Bahkan
bagi yang diasuransikan pun, premi asuransi dibayar dengan anggaran daerah.
Tapi jika kendaraan dinas hilang di rumah kediaman, bukan di garasi kantor,
(yang seperti ini kasusnya semakin banyak), kerugian daerah yang dibebankan
kepada pejabat daerah yang menggunakan kendaraan dinas adalah nilai kendaraan
di pasaran saat kejadian kehilangan (bukan nilai perolehan aset) dikurangi
klaim pertanggungan asuransi. Jika menilik UU 31/1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, penggunaan kendaraan dinas
di luar keperluan dinas dapat dimasukkan dalam tindak pidana korupsi.
Penggunaan kendaraan dinas di luar keperluan dinas merupakan pelanggaran
terhadap peraturan, penyalahgunaan wewenang, mengakibatkan pemborosan keuangan
negara karena ada inefisiensi penggunaan anggaran yang digunakan tidak sesuai
peruntukannya sehingga terdapat kerugian negara, dan menguntungkan atau memperkaya
pribadi penyelenggara negara atau keluarganya. Keempat unsur tindak pidana
korupsi menurut UU 20/2001 telah terpenuhi semua. Sayangnya, karena dilakukan
secara masif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama, masyarakat
seolah-olah abai terhadap tindak pidana ini. Nilai kerugian negaranya jika
dihitung secara akumulatif, satu kendaraan dinas per tahun akan mengakibatkan
pemborosan anggaran senilai di atas sepuluhan juta rupiah, dengan metode
penghitungan diasumsikan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan dinas hanya
sejumlah 60% dari total penggunaan kendaraan dinas, biaya BBM, perawatan,
perbaikan dan premi asuransi per tahun dianggarkan rata-rata 30 juta per
kendaraan per tahun, maka penggunaan anggaran bukan untuk keperluan dinas
adalah 12 juta per kendaraan per tahun. Jika rata-rata per instansi mempunyai
10 kendaraan dinas (beberapa instansi menguasai kendaraan dinas operasional
berjumlah ratusan), maka daerah dirugikan sekitar sekurang-kurangnya 120 juta
rupiah per instansi per tahun. Untuk penghitungan kerugian yang lebih akurat
harus dihitung melalui proses audit oleh lembaga pemeriksa keuangan atau
auditor yang berkompeten. Jadi dengan perhitungan seperti ini, setiap tahun
kita ternyata bisa melakukan penghematan senilai ratusan juta rupiah hanya
dengan menggunakan kendaraan dinas sesuai peruntukannya menurut konsepsi
awalnya. Diperlukan terobosan agar penggunaan kendaraan dinas hanya digunakan
untuk keperluan dinas. Bukan cuma masalah regulasi, sistem, mekanisme yang
harus dilengkapi, namun juga harus ada pembangunan kualitas manusia baik ke
dalam yaitu para pejabat, maupun ke luar yaitu masyarakat sipil, pers, dan NGO
sebagai partner pemerintah. Dibutuhkan lebih dari sekedar komitmen, integritas,
moralitas, kepemimpinan dan keteladanan, agar kebijakan ini benar-benar dapat
menjadi kebajikan untuk kebaikan bersama. Setiap para pejabat harus ditumbuhkan
rasa malu jika tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan terus diasah kepekaan
“common sense”-nya agar lebih berhati-hati dan tidak lagi menciderai perasaan
masyarakat, demikian juga masyarakat kita juga harus diasah rasa kepedulian,
partisipasi, kritis dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, mengubah mindset dari membenarkan yang
lazim menjadi melazimkan yang benar. Ditambah lagi di contohnya di kabupaten
Dogiyai masih belum bisa menarik kendaraan dinas yang dipakai oleh para pejabat
lama yang notabenenya sudah tidak menjabat lagi. Dan hal itu dibiarkan tanpa
ada peraturan tegas dari pemerintah daerah dipastikan setiap melantik pejabat
baru harus dibelikan kendaraan dinas yang baru. Jadi tidak heran kalau dana
pembangunan lebih di utamakan melengkapi alat penunjang para pejabat tanpa
mengedepan pembangunan daerah demi mewujudkan motto kabupaten “ DOGIYAI DOU
ENA”. Ada banyak kendaraan dinas kabupaten Dogiyai yang dipakai bukan pejabat
daerah karena kendaraan yang dikasih untuk menggunakan aktivitas kantor itu
dikasih ke keluarga para pejabat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !