Pages

Rabu, 24 April 2013

Orang Papua masih “Berhutang” kepada Orang Timorl


13668352691081195970
warga suku Maybrat Sorong mengenakan sarung produk budaya tenun ikatnya. (zonadamai@worldpress.com)


13668349081268442000
Titus Chris Pekey di Markas Unesco Paris (tabloidjubi.com)


13668344001720074629
ilustrasi : jalanjalanyuk.com



*) Bangun Museum Tenun Ikat di Sorong
Tahukah kita siapa tokoh di balik kisah sukses Noken masuk ke Lembaga PBB untuk Bidang Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan itu? Titus Chris Pekey lah orangnya. Putera koteka kelahiran Deiyai, Papua, 19 September 1975 itu sehari-hari bekerja sebagai peneliti pada ‘Papua Ecology Institute’ (sebuah lembaga yang fokus pada kebudayaan dan lingkungan Papua). Dialah sang pemilik gagasan awal untuk menominasikan Noken sebagai warisan budaya Papua ke UNESCO.
Peran Titus diakui sendiri oleh Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Wiendu Nuryanti.
“Saya menyampaikan terima kepada bapak Titus sebagai putra Papua yang ikut mendampingi saya selama di Paris dalam inskripsi Noken sebagai warisan budaya Papua di UNESCO.” ujar Prof. Wiendu dari Paris 4 Desember 2012 usai UNESCO mengetok  palu mengesahkan Noken sebagai warisan budaya tak benda yang harus segera dilestarikan.
”Ini suatu kebanggaan untuk saya, untuk masyarakat Papua, dan secara khusus untuk mama-mama asli Papua yang punya keterampilan untuk menganyam noken asal Papua,” timpal Titus.
Menurut alumni Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia 2006 itu, usulan Noken sebagai warisan dunia sudah dilakukan sejak tahun 2008. Bermula dari rasa irinya pada keris dan batik yang telah mendapatkan pengakuan lebih dulu. Dia berpikir untuk urusan warisan budaya, Papua dan Papua Barat adalah gudangnya. Titus lalu berdiskusi dengan Yulianus Keayo, seorang staf di Kemendiknas.
Noken, menurut Titus, telah memiliki syarat-syarat untuk diajukan ke UNESCO. Seperti unsur khas, unik, asli, dan tidak tergantikan. Sesuai dengan fungsinya sebagau tempat untuk mengisi, menyimpan, membawa, dan membagi barang-barang bawaan, Noken memiliki banyak nilai positif. Misalnya untuk membawa bahan makanan untuk dimakan bersama-sama.
Maka masuklah Noken ke Kemenbudpar yang sekarang telah berubah nama menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Menbudpar saat itu, Jero Wacik, langsung menyetujuinya untuk didaftarkan ke UNESCO. Untuk keperluan itu, ia harus melakukan penelitian di tempat-tempat pembuatan Noken, baik di Papua dan Papua Barat. Itu dilakukannya bersama tim dari tanggal 5-23 Februari 2011.

Lokasi pertama yang disinggahi adalah Kota dan Kabupaten Jayapura. Di tempat ini, Titus terpaksa harus mengelus dada. Sebab banyak sekali Noken yang diperjualbelikan adalah Noken imitasi yang dirajut dari benang nilon buatan pabrik. Seharusnya Noken dibuat dari rajutan serat kayu atau anyaman kulit kayu.
Noken imitasi dijual seharga Rp 55 ribu hingga Rp 200 ribu per buah, tergantung ukurannya. Sedangkan noken asli, harganya bisa mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per buah. Harga noken yang mahal itu karena proses pembuatannya yang memakan waklu lama.

Dia melanjutkan, setiap suku di Papua dan Papua Barat memiliki kearifan lokal dalam menentukan pepohonan yang boleh digunakan untuk membuat noken. Tetapi pada umumnya, bahan untuk membuat noken adalah kulit pohon melinjo (atau pohon ngemon dalam bahasa lokal Papua).

Pembuatan Noken dari bahannya yang asli baru ditemukan Titus di pedalaman Kabupaten Jayapura, tepatnya di kawasan Danau Sentani. Di sana Titus berjumpa mama-mama Papua yang rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun. Kondisi yang sama juga Titus temukan di lokasi penelitiannya di Nabire, Sorong, Wamena dan Paniai. Titus menemukan fakta bahwa regenerasi pembuat Noken asli Noken hampir terputus. Karena generasi muda di sana beranggapan pembuatan Noken adalah kerajinan kuno Jika usia harapan hidup masyarakat Indonesia yang rata-rata hanya sampai 68 tahun, berarti diperkirakan paling lama 20 tahun lagi Noken Papua akan punah.

Titus bersama tim berkesimpulan bahwa keterampilan membuat noken harus dilestarikan. Dengan didaftarkan ke UNESCO, diharapkan popularitas Noken terdongkrak, sehingga bisa menumbuhkan semangat generasi muda membuat Noken. Makalah yang dikirimkan Titus ke UNESCO mengalami beberapa kali revisi atas saran badan PBB itu. Revisi terakhir makalahnya diberi judul “Noken; Multifungsi Rajutan atau Anyaman Karya Tangan Masyarakat Papua”.
Maka sejak 4 Desember 2012 UNESCO menetapkan Noken sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang memerlukan perlindungan mendesak. Kini Noken telah menjadi perhatian dunia. Titus berharap Pemerintah ikut andil dalam memasarkan produk Noken karena masyarakat Papua dan Papua Barat mengalami persoalan dalam urusan pemasaran Noken ini.
Masih Berhutang kepada Orang Timor
Titus boleh berbangga karena Noken telah menambah perbendaharaan warisan budaya khas Indonesia yang diakui UNESCO mengikuti Wayang, Keris, Batik, Diklat Warisan Budaya Batik untuk Siswa Sekolah, Angklung dan Saman yang sudah lebih dulu diakui UNESCO.
Tetapi Titus mungkin lupa (bahkan mungkin tidak tahu) bahwa di masa lalu orang Timor (Nusa Tenggara Timur) telah berbagi budaya dengan orang Papua. Yaitu budaya tenun ikat.
Tenun ikat di Tanah Papua pertama kali muncul di Kota Sorong, Papua Barat. Itupun hanya terbatas pada masyarakat suku Maybrat yang merupakan salah satu penduduk asli wilayah kepala burung, dan sebagian lagi adalah suku Tehit.
Itu sebabnya, mengapa ketika sebagian besar Orang Papua mengenakan koteka, rumbai dan awur, tetapi masyarakat Sorong (Papua Barat) justru telah mengenakan sarung hasil tenunan sendiri. Bahkan sarung hasil tenun ikat telah menjadi mas kawin paling bergengsi dan paling mahal di kalangan masyarakat Kota Sorong. Jika sebuah keluarga memiliki semakin banyak kain tenunan, apalagi tenunan yg sdh berusia ratusan tahun, maka status sosial mereka pun semakin tinggi.
Uniknya, kain tenun ikat Sorong itu sama persis dengan produk budaya tenun ikat orang  Timor hingga ke motif tenunannya. Bagaimana produk tenun ikat ini bisa sama? Ikuti hasil hasil penelusuran saya di :

Fakta-fakta peninggalan budaya itu mengajarkan kita sebagai bangsa untuk bersikap terbuka terhadap kebudayaan etnis lain. Budaya merajut Noken seyogyanya juga diajarkan kepada orang Jawa. Dan Orang Timor bisa belajar membatik dari Orang Jawa serta menimba semangat Titus Chris Pekey untuk membawa produk budayanya ke UNESCO.
Siapa tahu setelah Museum Noken dibangun di Jayapura, Pemerintah juga membangun Museum Tenun Ikat di Sorong.
Jika itu bisa terwujud, maka filosofi merajut Noken dan menenun sarung Timor tak ubahnya seperti merajut dan menenun kebhinekaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar