Pages

Minggu, 09 Juni 2013

Membangun Ekonomi Kerakyatan di Papua

Potret

Judul ini terlalu idealistis. Juga seakan mimpi siang bolong. Ini hanya teriakan di belantara. Agak berat untuk memahami dan membangun ekonomi kerakyatan Papua. Tulisan ini tidak dikaji dari teori-teori ekonomi apapun. Tulisan ini hanya ingin melihat keberadaan ekonomi rakyat asli Papua saat ini dengan kaca mata awam. Lebih-lebih di era Otonomi Khusus yang sebenarnya tidak ada gunanya untuk dibahas.
Menarik, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Bab X Pasal 38 Pasal 1 mengatakan, perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Kemudian pada Pasal 2 berbunyi, usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Ada pernyataan penting, “…sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan,”. Undang-Undang Otsus punya semamgat untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Papua. Tetapi, Otsus tidak punya komitmen khusus untuk  memakmurkan dan mensejahterakan rakyat asli Papua. Otsus punya komitmen memandang orang asli Papua dengan orang pendatang sama  dalam mensejahterakan rakyat. Itu baik dan itulah yang mengagalkan Otsus.
Menjelang tujuh tahun implementasi Otsus, … kata ‘perekonomian’ itu pun belum dibingkai secara tepat. Kekhususan bagi orang asli Papua dalam menciptakan ‘kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua’ masih kabur.
Lalu, juga dikatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati ‘hak-hak masyarakat adat’, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Namun, pemanfaatan sumber daya alam Papua selama ini tetap tidak menghormati hak-hak ‘masyarakat adat’ (masyarakat asli Papua). Jaminan kepastian hukum bagi pengusaha orang Papua asli belum ada. Dana triliunan rupiah digunakan begitu saja tanpa ada ketentuan hukum (perdasi/perdasus) sehingga tidak tahu lari ke mana. Tidak pernah diberikan kesempatan kepada pengusaha orang asli Papua sebagaimana amanat Undang-Undang Otonomi Khusus.
Dalam konteks ini, jika kita ingin berbicara ‘kemakmuran dan kesejahteraan rakyat asli Papua, maka kita lebih dahulu merumuskan ekonomi kerakyatan yang tepat dengan kehidupan sosial budaya rakyat asli Papua. Artinya, tanpa mereka diaduk (walaupun secara otomatis akan terjadi) dengan semua orang yang datang dan berada di tanah Papua. Tentu dengan menghormati ‘hak-hak adat’ mereka dan memberikan kepastian hukum. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius, sampai kapan pun rakyat dan tanah Papua akan menjadi obyek eksploitasi orang pintar yang aslinya rakus dan penjajah.
Yang perlu diketahui dalam hal ini adalah sejatinya Otsus itu. Otsus sejatinya Jakarta menghambur-hamburkan uang dalam rangka ekspansi. Menghambur-hamburkan uang di tanah Papua supaya kaum migran yang lebih berpendidikan itu datang mengejar uang dan mengeruk kekayaan alam dengan menginjak-injak hak-hak ‘masyarakat adat’. Hal ini lebih didukung dan diperkuat oleh pemekaran wilayah. Hasilnya nampak, menjelang tujuh tahun lebih Otsus, kaum migran melebihi jumlah penduduk asli Papua. Ini strategi politik Jakarta untuk membendung aspirasi merdeka (baca: Indra J. Piliang. Suara Pembaruan, 19 Februari 2007, Membangun Benua Papua).
Membangun ekonomi rakyat asli Papua dalam bingkai cara pandang Jakarta itulah yang harus direnungkan kembali. Karena hasilnya saat ini adalah kelaparan masih melanda, orang-orang asli Papua tetap menjadi pemain pinggiran, bahkan penonton, dalam semua proses transformasi ekonomi yang berjalan begitu cepat di sekelilingnya. Lihat di pasar-pasar, orang-orang Papua berjualan di atas tanah beralaskan karung sementara kaum pendatang memenuhi los-los yang dibangun dengan dana Otsus dari Jakarta. Semua toko, saga, supermarket ditempati oleh orang-orang pendatang, sementara mama-mama Papua mesti menahan terik panas, dingin berjualan di atas jalan trotoar.
Hingga saat ini, “…sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat asli Papua itu masih di nusa.   Tidak dapat dibayangkan, pada tahun 2005 rakyat Yahukimo harus menderita dan meninggal karena kelaparan. Dana triliunan rupiah digunakan begitu saja tanpa ada ketentuan hukum (perdasi/perdasus) sehingga  lari kepada pengusaha dan kontraktoktor pendatang.  Tidak pernah diberikan kesempatan kepada pengusaha orang asli Papua sebagaimana amanat Undang-Undang Otonomi Khusus.
Muhammad Musa’ad, pakar hukum Universitas Cenderawasih mengatakan, tujuh tahun setelah UU No. 21 Tahun 2001 diterbitkan bagi Papua, belum juga ada perubahan yang berarti, keadaan bahkan memburuk, standar hidup di Papua anjlok ke taraf terendah, ….” (Baca: Aboeprijadi Santoso, 11-04-2008].  Lalu apa yang harus dilakukan?

Ekonomi Ke(Rakyat)an
Kata rakyat dalam konteks ini merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001 melalui Fredrik Benu,  26 November 2006). Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.
Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat.  Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.
Dalam ruang Papua, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menajemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi.
Namun, orang asli Papua yang memiliki ’jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menajemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi’ pun bisa dihitung dengan jari. Lantas, selama ini kita berpikir terlalu jauh untuk membangun ekonomi kerakyatan.
Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakya? Juga, jika ekonomi rakyat masih “tidak berdaya”, maka harus kita teliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, apa yang dikatakan Bung Karno pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia sangat membantu. Ia mengatakan, ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat.
Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli. Cara lain adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah kepada rakyat asli Papua.
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Membangun ekonomi rakyat tidak bisa hanya sekedar komitmen politik. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi rakyat membutuhkan adanya komitmen politik, tetapi menyamakan ekonomi rakyat dengan praktik membagi-bagi uang kepada rakyat adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi rakyat (Fredrik 2006).
Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Budaya proposal juga tidak ada untungnya. Yang ada hanya ketergantungan dan kemalasan.
Jika kita amati, orang asli Papua tidak punya uang tetapi punya asset seperti dusun sagu, punya lahan atau tanah adat dan juga kebun. Tetapi, dari segi ekonomi dan mata pencarian, mayoritas rakyat Papua masih hidup dalam taraf ekonomi subsistem bahkan sebagian lagi masih dalam taraf peramu. Karena itu, mereka jelas tidak akan mampu berkompetisi dengan saudara-saudaranya dari luar Papua dalam persaingan sistem ekonomi pasar.
Maka,  kita harus bicara keberadaan rakyat asli Papua di tengah saudara-saudara dari luar dan dalam sistem sosial dan lingkungan. Kita musti bicara program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan keadaan UKM dan Koperasi.  Selain sebagian besar UKM dan Koperasi dikuasai oleh kaum pendatang, permasalahan umum yang dihadapi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya.
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi rakyat harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.  Juga lebih penting adalah program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep.
Format  Ekonomi Kerakyatan di Papua
Pada masa kemimpinan Almarhum Solossa, banyak pihak menuding bahwa ekonomi kerakyatan di Papua sama sekali tidak ada bentuknya. Padahal pada saat itu, melibatkan sejumlah pakar ekonomi, putra asli Papua maupun dari luar Papua.
Tudingan yang sama masih dialamatkan kepada Suebu saat ini. Rumusan ekonomi kerakyatan yang ingin dikembangkan di Papua tidak seorang pun yang tahu, kecuali  100 juta. Program respek adalah satu program jitu Suebu yang masih kita tunggu untuk mengatakan berhasil atau gagal.
Memang sulit merumuskan satu pola ekonomi rakyat di Papua sesuai mental, gaya hidup, tradisi, dan budaya masyarakat. Banyak orang mengatakan bahwa, program ekonomi rakyat tidak hanya diprogramkan dari pemerintah setempat, tetapi masyarakat sebagai pelaku ekonomi harus proaktif membangun diri, keluarga, dan masyarakat.  Ada juga yang mengatakan, mental wiraswasta, berusaha mandiri, berjuang, tabah, sabar, dan mampu bersaing di pasaran belum dimiliki masyarakat asli Papua.
Ada juga yang mengatakan, masyarakat masih bergantung penuh kepada pemerintah dan cenderung konsumtif dibanding berusaha mandiri. Situasi seperti ini menjadi masalah bagi pemerintah provinsi untuk merumuskan bentuk ekonomi rakyat. Apakah kita harus terus mencari format dan habiskan waktu dan uang untuk mencari model? Kita harus berani berpikir konkret dan realistis!
Apa yang Dilakukan
Kita tidak perlu mencari rumusan abstrak mengenai ekonomi rakyat  yang cocok di Papua. Yang harus dilakukan sekarang adalah melihat potensi dan ancaman ekonomi rakyat saat ini. Pemerintah juga harus berani bedakan, ekonomi rakyat siapa yang mau dibangun. Harus berani juga melawan penghalang-penghalang itu (baca: Bung Karno).
Kita musti berpikir konkret dan realistis, apakah kaum pendatang yang memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup itu ataukah rakyat asli Papua yang kebanyakan tidak memiliki keterampilan dan pendidikan itu yang mau kita bangun. Kita harus membedakan itu dan berani membuat kebijakan berdasarkan hal itu. Soalnya, secara kuantitas, orang Papua yang bersaing dengan saudara-saudara pendatang  masih sedikit. Juga, perlu dipikirkan siapa yang membangun. Siapa yang memasak juga perlu, jangan sampai jadinya adalah nasi goreng rasa mie ayam.
Konkretnya, pemerintah cukup mendata berapa orang Papua yang sudah terlibat di pasar-pasar tradisional yang telah memiliki kios-kios dan usaha-usaha kecil menengah lainnya. Sebagian besar orang Papua menempati pinggiran pasar dan lorong-lorong di dalam pasar. Mereka tidak mendapat tempat yang layak di dalam pasar yang disebut pasar Inpres tersebut. Hampir 100 persen los pasar dan tempat strategis di dalam pasar dikuasai oleh warga pendatang.
Mereka ini harus difasilitasi dengan peraturan, dana, dan pendampingan sehingga mampu menjadi pengusaha yang benar-benar bergelut di bidang itu. Meskipun lambat, tetapi satu saat mereka akan memahami pola dan karakter sebagai pengusaha. Usaha itu harus dijadikan sumber hidup dan pusat kegiatan sehari-hari. Selama ini pemerintah mengalokasikan dana kepada masyarakat yang mengajukan proposal karena mengakui diri sebagai pengusaha, tetapi mereka sesungguhnya bukan pengusaha. Dana yang dikucurkan pemerintah kepada masyarakat yang mengajukan proposal ternyata hanya untuk konsumsi.
Juga, pemerintah provinsi mengeluarkan himbauan kepada para bupati, camat, dan kepala desa/lurah untuk mendata pengusaha kecil dan menengah putra Papua, termasuk para penjual jenis-jenis kebutuhan lokal. Putra Papua yang telah memiliki dasar sebagai pengusaha ini harus difasilitasi dan didampingi. Konsep seperti ini sangat praktis. Kita tidak perlu mendatangkan ahli-ahli ekonomi dari luar Papua, mengadakan seminar, rapat, dan pertemuan di hotel guna membahas ekonomi kerakyatan di Papua. Teori ekonomi apa pun yang paling mutakhir tidak mampu mengangkat ekonomi masyarakat asli Papua.
Yang konkret adalah bangun ruko atau toko di tiap kota dan tempatkan orang asli Papua untuk bekerja di sana. Kita berhenti dengan persepsi-persepsi kita bahwa orang asli Papua tidak bisa. Orang asli Papua banyak  yang sudah meningkatkan ekonomi mereka dengan berdagang. Kini hanya butuh rangsangan.
Para pejabat asli Papua juga harus berhenti dengan pekerjakan orang pendatang pada usaha-usaha mereka. Jika pejabat sudah berpikir begitu, maka dari konsep berpikirnya sudah keliru maka ekonomi rakyat itu tak akan pernah tampak. Seumur hidup kita hanya menganggap orang lain lebih dewa. Kapan kita maju mandiri dengan kepercayaan diri sebagai orang Papua.
Sekali lagi, pendampingan terhadap pengusaha lokal yang sudah ada sangat penting. Pendampingan ini hanya untuk memberi motivasi, dorongan, mengubah mental dan pola pikir pengusaha lokal untuk bermental sebagai pengusaha. Ada puluhan, bahkan ratusan orang Papua yang sudah merintis usaha kecil dan menengah.
Rasa gengsi yang begitu besar di kalangan masyarakat asli Papua harus ditata sehingga tidak merugikan. Papua memunyai sumber daya alam yang besar, yang dapat dikelola secara sederhana untuk kemakmuran rakyat. Mengapa berbagai jenis tanaman anggrek Papua dikumpulkan dan dibudidayakan warga pendatang, kemudian dijual ke luar Papua dengan harga sampai ratusan juta rupiah.
Kebijakan atau semboyan “menjadi tuan di negeri sendiri” di segala bidang omong kosong. Selama ini semboyan tersebut hanya dipahami “menjadi PNS dan pejabat daerah”, bukan menjadi pengusaha kecil dan menengah. Kita punya tugas berat untuk menebas pemahaman bahwa pekerjaan swasta, usaha kecil dan menengah adalah milik warga pendatang, sebagai hamba di Papua. Warga asli Papua sebagai tuan mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Karena itu, sangat pantas setiap lowongan PNS dipercayakan kepada putra asli, sementara warga pendatang diberi kesempatan berjuang di berbagai sektor swasta.
Semboyan “menjadi tuan di negeri sendiri” sebagai satu ungkapan klise, hiburan bagi orang Papua. Siapa yang menjadi tuan dan siapa menjadi hamba, tidak dijelaskan. Orang yang datang ke Papua tidak mungkin bersedia menjadi hamba karena mereka bekerja dengan segala tenaga dan pikiran untuk membangun hidup mereka di Papua.
Juga, perlu ingat bahwa dari sisi pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil, Papua ini terdiri dari 35 lebih kabupaten dengan jumlah penduduk asli Papua kurang dari 1, 5 juta. Setiap kabupaten itu membutuhkan 8000 lebih karyawan untuk mengisi instansi pemerintahan. Sementara, penduduk Papua  yang tamat SD 21,64 persen, tamat SMU hanya 10,6 persen, sedangkan tamat perguruan tinggi hanya 1,91 persen (baca: FokerLSMPapua.org, 17 Juni 2008). Ini artinya, sebagai pegawai negeri sipil pun sudah dan terus terisi oleh teman-teman kita yang datang  membangun hidup mereka di tanah Papua.
Hal-hal konkret di atas musti dipikirkan lebih jauh dengan berdasar kepada UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 42 ayat (1) pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Itu pun jika kita merasa peduli dan terpanggil untuk bangun rakyat asli Papua di atas tanah mereka. Smoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar